Aku menikahinya 2 tahun lalu. Seorang gadis yatim dari keluarga yang sederhana. Aku terpesona dengan akhlaknya, ilmu dan penampilannya yang cukup menjadi standartistri pilihan. Aku hampir tak memiliki keberanian kala itu untuk meminangnya karna kusadari kedalaman ilmu yang tak sebanding yang ia punya. Begitu banyak pastinya laki-laki yang menginginkannya menjadikannya istri. Aku menyadari, aku hanya seorang pemuda pengangguransaat itu. Namun mungkin ini adalah kehendak Allah SWT hingga keberanian itupun dating dan memacuku untuk menyatakan padanya, bahwa aku ingin meminangnya.
Sungguh aku tak menyangka dia malah mempersilahkan aku datang pada orang tuanya jika aku memang serius meminngnya. Alasannya dia tidak ingin pacaran sebelum pernikahan, dia mempercayaiku meskipun aku belum pernah bertemu dengannya.
Jejaring social (Facebook) yang memperkenalkan aku dengannya.
Akhirnya akupun menikahinya tepat 1 Minggu sebelum bulan puasa. Bulan yang indah diman pertama kalinya aku menjalankan ibadah puasa dengan belahan jiwaku, bidadari syurgaku, istriku.
Jika aku harus jujur, aku malupad diriku sendiri, sebagai seorang laki-laki sejak aku menikahinya bahkan sebelum au meminangnya dia selalu meringankan bebanku,membantuku.
Dia memang bukan gadis desa yang berkutat dirumahnya, tapi dia adalah perempuan pekerjayang mengais rizky di negri orang, sebut saja BMI. Tapi sungguh bukan karena itu aku tertarik padanya. Tapi pemahaman ilmu agama yang dia miliki, ketekunannya dalam ibadah yang mendorongku untuk mengajaknya melangkah menuju pernikahan suci. Aku begitu yakin dia akan menjadi calon ibu sholehah untuk ptra-putriku nanti.
Ketika pernikahan digelar, aku yang hanya seorng anak buruh tani dan memiliki ayah yang sakit-sakitan dan juga takpunya pekerjaan ini tentu saja tak mampu menggelar pernikahan mewah tapi di keluarga istriku. acara walimah digelar begitu meriah, maklum istriku adalah anak tunggal.
Sekali lagi aku memang merasa begitukecil dihadapan keluarganya tapi istriku yang sholehah itu selalu membesarkan hatiku. Dia melayaniku bagai Rajanya, dia sering mengatakan "Surga bagi seorang istri adalah dibawah keridhoan suaminya, jika mas ridho padaku maka Allaah pun akan ridho padaku"
Duhai Istriku betapa bahagianya aku telah memenangkan hatimu, memilikumu. Aku yakin ada beberapa laki-laki yang harus gigit jari saat aku meminangmu, ketika kau bersedia menjadi istriku dan aku juga yakin ada beberapa laki-laki yang iri padaku karena akulah yang mampu meluluhkan hatimu.
Aku tak mampu mencegahnya ketika dia memint izin kembali ketempat kerjanya. Memang kepulangannya dan menikah denganku adalah hanya cuti liburan 2 Minggu yang diberikan majikannya. Ketika itu aku memang belum mampu memberinya nafkah lahir karena statusku sebagai pengangguran belum ada perubahan. Sedikit banyak aku memang menggantungkan harapanku pada kepergiannya, ya harapan dia memberiku modal untuk membuka usaha atau jalan untuk mendapatkan pekerjaan.
Tepat dugaanku dia istriku yang kucinta ternyata mencarikanku pekerjaan, entah sudah berapa banyak kenalannya yang dia mintai bantuan untuk mencarikanku pekerjaan. Sampai akhirnya aku dimantanya ke Surabaya untuk mengikuti tes security disalah satu perusahaan jasa keamanan.Tak hanya sampai disitu perjuangan istriku, dari mengirimiku uang sebagai biaya ke Surabaya sampai memikirkan tempat tinggalku disana selama aku belum mendapat kepastian kerja.
Dirumah salah satu kerabatnyaaku tinggal, itupun atas rekomendasi istriku.
Pekerjaanpun hampir kudapat,entah ini ujian atau teguran, ketikaaku sudah mulai menata hidupku dikota Metropolitan inidan mempersiapkan diri agar istriku segera pulang, karena aku akn mendapatkan pekerjaan ayahku sakit. Aku pulang begitu saja tanpa memberitau istriku. Aku MD dari tempat magangku sebagai security dan pulang. Hingga akhirnya istriku mengetahui alas an kepulanganku.
Aku merasakan nada kekecewaan pada istriku tapi apa boleh buat aku juga tak begitu nyaman ditempat kerja itu gak kerasaan.Walau ribuan pengertian juga semangat dari istriku agar aku kembali bekerja aku tetap tak mau. Entah kenapa aku begitu egois kala itu, meski aku tau orang tuaku begitu membutuhkan biaya untuk berobat. Yang ada dalam otakku istriku punya gaji tiap bulan dan ia pasti tak akan membiarkan ku kesulitan dan pasti jika aku meminta kiriman untukpengobatan orang tuaku pasti dia bias carikan. Karena aku tau dan faham betul kwajiban dan tanggung jawab terhadap orang tua. Ku akui sedikit banyak aku jadi memanfaatkannya yang bekerja keluar negri.
Waktu berlalu, berbagai usaha dagang telah ku coba. Tentu saja dengn modal yang kuminta dari istriku tapi tak ada yang berhasil.
Sejak hari pernikahan sampai sekarang di tahun ke dua usia pernikahan kami, sepeserpun aku memang belum pernah memberikan nafkah lahir untuk istriku. Bahkan mahar yang kuberikan padanya dulu saat ijab qobul aku sudah lupa tapi pasti uang untuk aku membeli mahar(seperangkat alat sholat dan Al-Qur'an) juga sudah tercampur dari uang pemberiannya sebelum pernikahan kami. Karena pada saat itu memang aku tak berpenghasilan.
Aku juga sudah tak bias lagi menghitung, sudah berapa kali istriku memberiku uang hasil kerjanya entah dalam hituan ribuan hingga jutan.
Selain itu entah berapa kali sudah, istriku begitu sering mengingatkan aku tentang sholat wajib dan juga sunnah-sunnahnya, tapi aku jarang sekali mengindahkannya. Aku menganggapka seperti ustadzah yang lagi ceramah di radio, habis ku matikan radionya hilang sudah suara dan nasehatnya. Aku tak pernah mau tau betapa yang dilakuknnya demikabaikanku untuk menguatkan iamnku. Seharusnya aku bersyukur memilinya, memiliki penyeimbang imanku seperti dia. Tapi aku selalu saja hanya memikirkan materi dan materi saja. Keegoisanku membutakan mata hatiku hingga aku pernah kalap melontarkan kalimat diluar control.
Aku tak pernah berfikir realistis ketika aku sering menyudutkan istrku dengan kesalahan2 nya juga keputusannya bekerja ke luar negeri. Aku tak pernah memikirkan penderitaannyamenjadi seorang pekerja Rumah Tangga di Negri orang. Aku tak pernah membayangkan bagaimana dia kelaparan,karena tak sepeserpun pegang uang saat belum gajian. Tapi aku malah membebaninya dengan minta kiriman uang, uang dan uang.
Aku bahkan belum melakukan kewajibanku sebagai suami yag melindunginya disaat dalam bahaya, yang mendampinginya saat ia terpuruk, menjaganya kala ia sakit dan memberinya nafkah. Aku selalu menjadikan kondisiku yang sedang kesulitan sebgai alas an meminta kiriman uang. Aku jadikan alas an kejauhan kami untuk tak memberinya nafkah. Aku selalu menuntut hakku sebagai suaminya tanpa memberikan haknya sebaga iistriku.
Maafkan suamimu ini yang tak mampu membimbingmu, bahkan aku menjerumuskanmu pada posisi yang sangat terjepit antara ketaatanmu padaku ( suamimu ) dan kepatuhanmu pada Ibumu ( orang tuamu ).
Mata hatiku tertutup dari semua perhatianmu padaku juga orang tuaku. Telingaku tersumbat dari semua nasehatmu dalam segala bentuk ibadah dan tanggung jawab. Aku tak pernah bias belajar dari kesalahan-kesalahan yang perah kulakukan. Entah kenapa aku begitu egois mengukur segalanya dengan tumpukan uang, dengan materi. Ketika aku mendapatkan masalah,aku datang padamu meminta bantuan. Ketika kau mampu membantuku aku akan memberimu perhatian namun saat kau tak kuasa memberi pa yang ku minta dan hanya mampu menenangkan hatiku aku akan marah. Dan kembali akan menyalahkan kepergianmuke Luar Negri. Walau jika saja aku menyadari semua kau lakukan demi aku (suamimu) dan masa kita.
Tapi aku tak pernah mengingat pemberian dan pengorbananmu itu. Maafkan aku Istriku.....
Keras kepalaku membuatmu harus menahan sesak dan sakit sebab aku tak mampu memberikan image baik dihadapan keluargamu. Aku tak bisa menunjukkan pada mereka sebagai menantu yang baik. Walau jjujur kuakui kau selalu berusaha menempatkanku pada posisi terbaik dan memberiku jalan menjadi yang terbaik.
Duhai Istriku,,,,,,,,,,,,,,maafkanlah aku. Aku yang kini mulai merintis usaha dengan bantuanmu masih saja membebanimu.Aku yang kin bukan lagi pengangguran masih saja meminta jerih payahmu. Seharusnya saatnya aku yang meringankan bebanmu. Saatnya aku yang menanggung biaya hidup kita. Saatnya aku tak membiarkanmu terlunta-lunta jauh dari keluarga. Seharusnya saatnya aku menempatkanmu menjadi ratu dalam Istana Rumahku. Tapi gemerlap dunia benar-benar membutakan mataku. masih saja kurasa kurang dan kurang. Aku masih saja meminta uang padamu dengan ribuan alasnku.
Jujur aku menginginkan ragamu disampingku tapi disisi lain aku juga masih meginginkan uangmu.
Bidadariku,,,,,sungguh maafkan aku yang selalu membuatmu menangis. Maafkan aku yang tak mampu menjadi Imam terbaik untukmu. Maafkan aku Istriku,,,,,
Aku sungguh laki-laki bodoh yang menyia-nyiakanmu, Aku laki-laki merugi yang tak mendengar nasehat dan masukanmu sebagai istriku. Aku laki-laki yang kufur yang tak mampu mensyukuri nikmat bidadari sholehah dalam dirimu.
Maafkanlah aku istriku,,,,,aku hanya mampu menyampaikan kalimat-kalimat pada tulisan ini karna aku sungguh tak punya keberanian setelah aku menusuk hatimu dengan duri kalimat sms ku, yang kutuliskan "Aku ingin menikah lagi, dan mengikhaskanmu" saat kau tak lagi mengirimiku uang yang kubutuhkan. Aku sungguh egois, setelah kau membacanya aku yakin bulir-bulir benimg kembali mengalir bagai anak sungai menyebrangi pipimu. Dan kau hanya terdiam, tertunduk dibalik jilbab panjangmu.
Maafkan salahku,,,,,,,,,bidadariku sungguh maafkan aku yang telah menjatuhkan Thalak padamu.
Maafkan Aku istriku
* Diceritakan oleh NN pada penulis
23.52...8 Clear Water Bay
Jum'at, 5 Syawal 1435 H
*ZRJ*
No comments:
Post a Comment