Kisah hikmah Kiyai Kholil Membetulkan
Arah Kiblat Kiai Muntaha, mantu Kiai
Kholil, yang terkenal alim itu membangun
masjid di pesantrennya, dan
pembangunan masjid tersebut hampir
rampung. Sebagai seorang alim, Kiai
Muntaha membangun dengan rencana
yang matang sesuai dengan tuntunan
syariat. Begitu juga dengan tata letak dan
posisi masjid yang tepat mengarah ke
kiblat. Menurut Kiai Muntaha, masjid yang
hampir rampung itu sudah sedemikian
tepat, sehingga tinggal menunggu
peresmiannya saja sebagai masjid
kebanggaan pesantren. Suatu hari, masjid
yang hampir rampung itu dilihat oleh Kiai
Kholil, menurut pandangan Kiai Kholil,
ternyata masjid itu terdapat kesalahan
dalam posisi kiblat. "Muntaha, arah kiblat
masjidmu ini masih belum tepat, ubahlah!"
ucap Kiai Kholil mengingatkan mantunya
yang alim itu. Sebagai seorang alim,
sebagai kiai alim, Kiai Muntaha tidak
percaya begitu saja. Beberapa argumen
diajukan kepada Kiai Kholil untuk
memperkuat pendiriannya yang selama ini
sudah dianggapnya benar, melihat
mantunya tidak ada-ada tanda-tanda
menerima nasehatnya, Kiai Kholil
tersenyum sambil berjalan ke arah masjid.
Sementara Kiai Muntaha mengikuti di
belakangnya. Sesampainya di ruang
pengimaman, Kiai Kholil mengambil kayu
kecil kemudian melubangi dinding tembok
arah kiblat. "Muntaha, coba kau lihat
lubang ini, bagaimana posisi arah
kiblatmu?" panggil Kiai Kholil sambil
memperhatikan mantunya bergegas
mendekatkan matanya ke lubang itu,
betapa kagetnya Kiai Muntaha setelah
melihat dinding itu. Tak diduganya, lubang
yang kecil itu ternyata Ka'bah yang berada
di Makkah dapat dilihat dengan jelas
dihadapannya. Kiai Muntaha tidak percaya,
digosok-gosokan matanya dan dilihatnya
sekali lagi lubang itu, dan ternyata Ka'bah
yang di Makkah malah semakin jelas.
Maka, sadarlah Kiai Muntaha, ternyata
arah kiblat Masjid yang diyakininya benar
selama ini terdapat kesalahan. Arah kiblat
masjid yang dibangunnya, ternyata terlalu
miring ke kanan. Kiai Kholil benar, sejak
saat itu, Kiai Muntaha mau mengubah
arah kiblat masjidnya sesuai dengan arah
yang dilihat dalam lubang tadi.
Mengetahui Pikiran Kiai Noer Ketika Kholil
muda menyantri pada Kiai Noer di
pesantren Langitan Tuban. Kholil seperti
biasanya ikut jama'ah sholat yang
memang keharusan para santri. Di tengah
kekhusukan jama'ah sholat, tiba-tiba kholil
tertawa terbahak-bahak. Karuan saja, hal
ini membuat santri lain marah. Demikian
juga dengan Kiai Noer. Dengan kening
berkerut, kiai bertanya: "Kholil, kenapa
waktu sholat tadi, kamu tertawa terbahak-
bahak. Lupakah kamu itu meengganggu
kekhusukan sholat dan sholat kamu tidak
syah?!" Kholil menjawab dengan tenang,
"Maaf, begini Kiai, waktu sholat tadi saya
sedang melihat Kiai sedang mengaduk-
aduk nasi di bakul, karena itu saya
tertawa. Sholat kok mengaduk-aduk nasi.
Salahkah yang saya lihat itu, kiai?" Jawab
Kholil muda dengan mantap dan sopan.
Kiai Muhammad Noer terkejut. Kholil
benar, Santri baru itu dapat membaca apa
yang terlintas di benaknya, Kiai
Muhammad Noer duduk dengan tenang
sambil menerawang lurus ke depan, serta
merta berbicara kepada santri kholil: "Kau
benar anakku, saat mengimami sholat tadi
perut saya memang sedang lapar. Yang
terbayang dalam pikiran saya saat itu,
memang hanya nasi, anakku," ucap Kiai
Muhammad Noer secara jujur. Sejak
kejadian itu kelebihan Kholil akhirnya
menyebar. Bukan hanya terbatas di
pesantren Langitan, tetapi juga sampai ke
pesantren lain di sekitarnya. Karena itu,
setiap kiai yang akan ditimba ilmunya oleh
Kholil muda, maka para kiai itu selalu
mengistimewakannya. Didatangi Macan
Pada suatu hari di bulan syawal, Kiai
Kholil tiba-tiba memanggil santri-
santrinya. "Anak-anakku, sejak hari ini
kalian harus memperketat penjagaan
pondok pesantren. Pintu gerbang harus
senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada
macan masuk ke pondok ini" kata Kiai
Kholil agak serius. Mendengar tutur guru
yang sangat dihormati itu, segera para
santri mempersiapkan diri. Waktu itu,
sebelah timur Bangkalan memang terdapat
hutan-hutan yang cukup lebat dan angker.
Hari demi hari, penjagaan semakin
diperketat, tetapi macan yang ditunggu-
tunggu belum tampak juga. Memasuki
minggu ketiga, datanglah ke pesantren
seorang pemuda kurus tidak seberapa
tinggi bertubuh kuning langsat sambil
menenteng kopor seng. Sesampainya di
depan pintu rumah Kiai Kholil, lalu
mengucap salam "Assalamu'alauikum"
ucapnya agak pelan dan sangat sopan.
Mendengar salam itu, bukannya jawaban
salam yang diterima, tetapi kiai malah
berteriak memanggil santrinya, hei... santri
semua, ada macan...macan...ayo kita
kepung. Jangan sampai masuk pondok"
seru Kiai Kholil bak seorang komandan di
medan perang. Mendengar teriakan Kiai,
kontan saja semua santri berhamburan,
datang sambil membawa apa saja yang
ada, pedang, celurit, tongkat, pacul untuk
mengepung pemuda yang baru datang tadi
yang mulai nampak pucat. Tidak ada
pilihan lagi kecuali lari seribu langkah.
Namun karena tekad ingin nyantri ke Kiai
Kholil begitu menggelora, maka keesokan
harinya pemuda itu mencoba datang lagi.
Begitu memasuki pintu gerbang pesantren
langsung disong-song dengan usiran
ramai-ramai. Demikian juga keesokan
harinya, baru pada malam ketiga, pemuda
yang pantang mundur ini memasuki
pesantren secara diam-diam pada malam
hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang
disertai rasa takut yang mencekam,
akhirnya tertidur di bawah kentongan
surau. Secara tidak diduga, tengah malam,
Kiai Kholil datang dan membangunkannya,
karuan saja dimarahi habis-habisan.
Pemuda itu dibawa ke rumah Kiai Kholil,
setelah berbasa-basi dengan seribu
alasan, baru pemuda itu lega setelah resmi
diterima sebagai santri Kiai Kholil.
Pemuda itu bernama Abdul Wahab
Hasbullah. Seorang kiai yang sangat alim,
jagoan berdebat dan pembaharu
pemikiran. Kehadiran KH. Wahab
Hasbullah dimana-mana selalu berwibawa
dan disegani baik kawan maupun lawan
bagaikan seekor macan, seperti yang
disyaratkan Kiai Kholil. Ketinggalan Kapal
Laut Kejadian ini pada musim haji. Kapal
laut pada waktu itu satu-satunya angkutan
yang menuju Makkah. Semua penumpang
calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap,
tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada
suaminya : "Pak tolong, saya belikan
anggur, saya ingin sekali" ucap istrinya
dengan memelas. "Baik, kalau begitu.
Mumpung kapal belum berangkat, saya
akan turun mencari anggur". Jawab
suaminya dengan bergegas keluar dari
kapal. Setelah suaminya keluar mencari
anggur di sekitar anjungan kapal,
nampaknya tidak ditemuai pedagang
anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya
masuk ke pasar. Untuk memenuhi
permintaan istrinya tercinta. Dan, meski
agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat
juga, betapa gembiranya sang suami
mendapatkan anggur itu. Dengan agak
bergegas, dia segera kembali ke kapal laut
untuk menemui istrinya. Namun betapa
terkejutnya sesampai ke anjungan kapal.
Pandangannya menerawang ke arah kapal
yang akan ditumpangi. Semakin lama
kapal tersebut semakin menjauh. Sedih
sekali melihat kenyataan ini. Ia duduk
termenung tidak tahu apa yang mesti
diperbuat. Di saat duduk memikirkan
nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki
datang menghampirinya. Dia memberikan
nasehat: "Datanglah kamu kepada Kiai
Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah
yang menimpa dirimu!" ucapnya dengan
tenang. "Kiai Kholil?" pikirnya. "Siapa dia?,
Apa ia mesti harus kesana, bisakah dia
menolong ketertinggalan saya dari kapal?"
begitu pertanyaan itu berputar-putar di
benaknya. "Segeralah ke Kiai Kholil minta
tolong padanya agar membantu kesulitan
yang kamu alami, Insyaallah." Lanjut
orang itu menutup pembicaraan. Tanpa
pikir panjang lagi, berangkatlah sang
suami yang malang itu ke Bangkalan.
Setibanya di kediaman Kiai Kholil,
langsung disambut dan ditanya: "Ada
keperluan apa?" Lalu, sang suami yang
malang itu menceritakan apa yang
dialaminya mulai awal hingga datang ke
Kiai Kholil. Tiba-tiba Kiai berkata :
"Lho...ini bukan urusan saya, ini urusan
pegawai pelabuhan, sana ... pergi". Lalu
suami itu kembali dengan tangan hampa.
Sesampainya di pelabuhan, dia bertemu
lagi dengan orang laki-laki tadi yang
menyuruh ke Kiai Kholil. Orang tersebut
bertanya: Bagaimana? Sudah ketemu Kiai
Kholil? "Sudah, tapi saya disuruh ke
petugas pelabuhan." Katanya dengan nada
putus asa. "Kembali lagi, kembali lagi
temui Kiai Kholil!" ucap orang yang
menasehati dengan tegas tanpa ragu.
Maka sang suami yang malang itu pun
kembali lagi ke Kiai Kholil. Begitu
dilakukannya sampai berulang kali. Baru
setelah ketiga kalinya, Kiai Kholil berucap,
"Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin
sekali, saya bantu sampeyan".
"Terimakasih Kiai" kata sang suami
melihat secercah harapan. "Tapi ada
syaratnya" ucap Kiai Kholil. "Saya akan
penuhi semua syaratnya." Jawab orang itu
dengan bersungguh-sungguh. Lalu Kiai
berpesan : "Setelah ini, kejadian apapun
yang dialami sampeyan jangan sampeyan
ceritakan pada orang lain, kecuali saya
sudah meninggal, apakah sampeyan
sanggup?" pesan dan tanya Kiai seraya
menatap tajam. "Sanggup Kiai, "jawabnya
spontan. "Kalau begitu ambil dan pegang
anggurmu. Pejamkan matamu rapat-
rapat" kata Kiai Kholil. Lalu, sang suami
melaksanakan perintah Kiai dengan patuh,
setelah beberapa menit berlalu dibukanya
matanya dengan pelan-pelan. Betapa
terkejutnya ia melihat apa yang
dihadapannya, ia sedang berada di atas
kapal laut yang sedang berjalan. Takjub,
heran bercampur jadi satu, seakan tak
mempercayai apa yang sedang dilihatnya.
Digosok-gosokkan matanya, dicubit
lengannya. Benar kenyataan, bukannya
mimpi, dirinya sedang berada di atas
kapal. Segara ia ditemui isterinya di salah
satu ruang kapal. "Ini anggurnya, dik.
Saya beli anggur jauh sekali" dengan
senyuman penuh arti seakan tidak terjadi
apa-apa. Dan seolah-olah datang dari
arah bawah kapal. Padahal, sebenarnya
dia baru saja mengalami peristiwa yang
dahsyat sekali yang baru kali ini dialami,
sekali dalam hidupnya. Terbayang wajah
Kiai Kholil. Dia baru menyadari bahwa
beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia
baru saja berhadapan dengan seseorang
yang memiliki karomah yang sangat luar
biasa Santri Mimpi Dengan Wanita Pada
suatu hari menjelang pagi, santri bernama
Bahar dari Sidogiri merasa gundah. Dalam
benaknya tentu pagi itu ia tidak bisa sholat
subuh berjamaah. Ketidakikutsertaan
Bahar sholat subuh berjamaah bukan
karena malas. Tetapi disebabkan halangan
junub, semalaman Bahar bermimpi tidur
dengan seorang wanita. Sangat dipahami
kegundahan Bahar sebab wanita itu adalah
istri Kiai Kholil , istri gurunya. Menjelang
subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar
sambil membawa sebilah pedang seraya
berucap: "santri kurang ajar..., santri
kurang ajar..." Para santri yang sudah
naik ke masjid untuk sholat berjamaah
merasa heran dan tanda tanya, apa dan
siapa yang dimaksud santri kurang ajar
itu. Subuh itu Bahar memang tidak ikut
shalat berjamaah, tetapi bersembunyi di
belakang pintu masjid. Seusai sholat
subuh berjamaah Kiai Kholil
menghadapkan wajahnya kepada semua
santri seraya bertanya: Siapa santri yang
tidak ikut berjamaah?" ucap Kiai Kholil
nada menyelidik. Semua santri merasa
terkejut, tidak menduga akan mendapat
pertanyaan seperti itu. Para santri
menoleh ke kanan kiri, mencari tahu siapa
yang tidak hadir, ternyata yang tidak hadir
waktu itu hanyalah Bahar, kemudian Kiai
Kholil memerintahkan mencari Bahar dan
dihadapkan kepadanya. Setelah
diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai
Kholil menatap tajam-tajam kepada Bahar
seraya berkata: "Bahar, karena kamu tidak
hadir sholat subuh berjamaah maka kamu
harus dihukum. Tebanglah dua rumpun
bambu di belakang pesantren dengan
petok ini," perintah Kiai Kholil (Petok
adalah sejenis pisau kecil dipakai untuk
menyabit rumput) . Setelah menerima
perintah itu, segera Bahar melaksanakan
dengan tulus. Dapat diduga bagaimana
Bahar menebang dua rumpun bambu
dengan suatu alat yang sangat sederhana
sekali, tentu sangat kesulitan dan
memerlukan tenaga serta waktu yang lama
sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan
dengan baik. "Alhamdulillah, sudah selesai
Kiai," ucap Bahar dengan sopan dan
rendah hati. "Kalau begitu, sekarang kamu
makan nasi yang ada di nampan itu
sampai habis," perintah Kiai kepada
Bahar. Sekali lagi santri Bahar dengan
patuh dan gembira menerima hukuman
dari Kiai Kholil. Setelah Bahar menerima
hukuman yang kedua, santri Bahar lalu
disuruh makan buah-buahan sampai habis
yang ada di nampan itu. Setelah itu santri
Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya
berucap: "Hei santri, semua ilmuku sudah
dicuri orang ini," ucap Kiai Kholil sambil
menunjuk ke arah Bahar dan Kiai Kholil
pun memintanya untuk pulang kampung
halamannya. Memang benar, tak lama
setelah itu, santri yang mendapat isyarat
mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai
yang alim, yang memimpin sebuah pondok
besar di Jawa Timur. Kiai yang beruntung
itu bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar
dengan ribuan santri yang diasuhnya di
pondok pesantren Sidogiri, Pasuruan,
Jawa Timur. Kiai Kholil Masuk Penjara
Beberapa pelarian pejuang kemerdekaan
dari Jawa bersembunyi di pesantren Kiai
Kholil. Kompeni Belanda, rupanya
mencium kabar itu. Tentara Belanda
berupaya keras untuk menangkap pejuang
kemerdekaan yang bersembunyi itu.
Rencana penangkapan diupayakan
secepat mungkin. Setelah yakin
bersembunyi di pesantren, tentara Belanda
memasuki pesantren Kiai Kholil. Seluruh
pojok pesantren digrebek. Ternyata tidak
menemukan apa-apa. Hal itu membuat
kompeni marah besar, karena
kejengkelannya akhirnya mereka
membawa pimpinan pesantren, yaitu Kiai
Kholil untuk ditahan. Dengan siasat ini,
mereka berharap dengan ditahannya Kiai
Kholil, para pejuang segera menyerahkan
diri. Ketika Kiai Kholil dimasukkan ke
dalam tahanan, maka beberapa peristiwa
ganjil mulai muncul. Hal ini membuat
susah penjajah Belanda. Mula-mula ketika
Kiai Kholil masuk ke dalam tahanan,
semua pintu tahanan tidak bisa ditutup.
Dengan demikian, pintu tahanan dalam
keadaan terbuka terus-menerus. Kompeni
Belanda harus berjaga siang dan malam
secara terus-menerus. Sebab, jika tidak
maka tahanan bisa melarikan diri. Pada
hari berikutnya, sejak Kiai Kholil ditahan,
ribuan orang dari Madura dan Jawa
berdatangan untuk menjenguk dan
mengirim makanan ke Kiai Kholil. Kejadian
ini membuat kompeni merasa kewalahan
mengatur orang sebanyak itu. Silih
berganti setiap hari terus-menerus.
Akhirnya, kompeni membuat larangan
berkunjung ke Kiai Kholil. Pelarangan itu
ternyata tidak menyelesaikan masalah.
Masyarakat justru datang setiap harinya
semakin banyak. Para pengunjung yang
bermaksud berkunjung ke Kiai Kholil
bergerombol di sekitar rumah tahanan.
Bahkan banyak yang minta ditahan
bersama Kiai Kholil. Sikap nekad para
pengunjung Kiai Kholil ini jelas membuat
Belanda makin kewalahan. Kompeni
merasa khawatir, kalau dibiarkan berlarut-
larut suasana akan semakin parah.
Akhirnya, daripada pusing memikirkan hal
yang sulit dimengerti oleh akal itu,
kompeni Belanda melepaskan Kiai Kholil
begitu saja. Setelah kompeni
mengeluarkan Kiai Kholil dari penjara, baru
semua kegiatan berjalan sebagaimana
biasanya. Demikian juga dengan pintu
penjara sudah bisa ditutup kembali serta
para pengunjung yang berjubel disekitar
penjara kembali pulang kerumahnya
masing-masing. Residen Belanda Suatu
hari residen Belanda yang ditempatkan di
Bangkalan mendapat suatu surat yang
cukup mengejutkan dari pemerintah
kolonial Belanda di Jakarta. Surat tersebut
berisi tentang pemberhentian dirinya
sebagai residen di Bangkalan. Padahal,
jabatan itu masih diinginkan dalam
beberapa saat. Residen ini sangat berbeda
dengan residen Belanda lainnya. Hati
nurani residen ini tidak pernah menyetujui
adanya penjajahan oleh negaranya. Untuk
mempertahankan posisinya, residen
Belanda yang bersimpati kepada Indonesia
ini mau berkorban apa saja asalkan tetap
memangku jabatan di Bangkalan.
Kebetulan sang residen mendengar kabar
bahwa di Bangkalan ada orang yang
pandai dan sakti mandraguna. Tanpa pikir
panjang lagi, sang residen segera pergi
menemui orang yang diharapkan kiranya
dapat membantu mewujudkan
keinginannya itu. Maka, berangkatlah sang
residen itu ke Kiai Kholil dengan ditemani
beberapa koleganya. Sesampainya di
kediaman Kiai Kholil, sang residen Belanda
langsung menyampaikan hajatnya itu. Kiai
Kholil tahu siapa yang dihadapinya itu, lalu
dijawab dengan santai seraya berucap:
"Tuan selamat....selamat, selamat,"
ucapnya dengan senyum yang khas,
Residen Belanda merasa puas dengan
jawaban Kiai Kholil dan setelah itu
berpamitan pulang. Selang beberapa hari
setelah kejadian itu, sang residen
menerima surat dari pemerintah Belanda
yang isinya pencabutan kembali surat
keputusan pemberhentian atas dirinya.
Betapa senangnya menerima surat itu.
Dengan demikian, dirinya masih tetap
memangku jabatan di daerah Bangkalan.
Sejak peristiwa itu, Kiai Kholil diberi
kebebasan melewati seluruh daerah
Bangkalan. Bahkan Kiai Kholil bisa
menaiki dokar seenaknya melewati daerah
terlarang di karesidenan Bangkalan tanpa
ada yang merintanginya. Baik residen
maupun aparat Belanda semua menaruh
hormat kepada Kiai Kholil. Seorang Kiai.
Yang dianggap memiliki kesaktian yang
luas biasa. Santri Pencuri Pepaya Pada
suatu hari, seorang santri berjalan-jalan di
sekitar pondok pesantren kedemangan.
Kebetulan di dalam pesantren terdapat
pohon pepaya yang buahnya sudah
matang-matang kepunyaan kiai. Entah
karena lapar atau pepaya sedemikian
merangsang seleranya, santri itu nekad
bermaksud mencuri pepaya tersebut.
Setelah menengok ke kanan dan ke kiri,
merasa dirinya aman maka dipanjatlah
pohoh pepaya yang paling banyak
buahnya. Kemudian dipetiknya satu
persatu buah pepaya yang matang-
matang itu. Setelah cukup banyak santri
itu kemudian turun secara perlahan-lahan.
Baru saja kakinya menginjak tanah,
ternyata sudah diketahui oleh beberapa
santri, tak ayal lagi santri yang mencuri
pepaya itu dilaporkan kepada Kiai Kholil.
Kiai marah besar kepada santri itu.
Setelah itu disuruhnya dia memakan
pepaya itu sampai habis, dan akhirnya
diusir dari pondok pesantren. Tak lama
setelah kejadian itu , santri yang diusir
karena mencuri pepaya itu ternyata
menjadi Kiai besar yang alim. Kealiman
dan ketenaran kiai tersebut sampai kepada
pesantren kedemangan. Mendengar berita
menarik itu, beberapa santri ingin
mengikuti jejaknya. Pada suatu hari,
beberapa santri mencoba mencuri pepaya
di pesantren. Dengan harapan agar
dimarahi kiai. Begitu turun dari pohon
pepaya. Kontan saja petugas santri
memergokinya. Maka peristiwa itu
dilaporkan kepada Kiai Kholil. Setelah
melihat beberapa saat kepada santri yang
mencuri pepaya itu, seraya Kiai
mengucap : "Ya sudah, biarlah" kata Kiai
Kholil dengan nada datar tanpa ada marah
tanpa ada pengusiran. "Wah, celaka saya
tidak bisa menjadi kiai," desah santri
pencuri pepaya sambil menangis
menyesali perbuatannya dan berjanji tidak
akan mengulanginya. Orang Arab Dan
Macan Tutul Suatu hari menjelang sholat
maghrib, seperti biasanya, Kiai Kholil
mengimami jamaah sholat berjamaah
bersama para santri Kedemangan.
Bersamaan dengan Kiai Kholil mengimami
sholat, tiba-tiba beliau kedatangan tamu
orang berbangsa Arab, orang Madura
menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan
sholat Kiai Kholil menemui tamu-tamunya
termasuk orang arab yang baru datang
yang mengetahui kefasihan bahasa Arab.
Habib tadi menghampiri Kiai Kholil sambil
berucap : " Kiai . . . ,bacaan Al Fatihah
(antum) kurang fasih", tegur sang habib.
"O . . . begitu", jawab Kiai Kholil tenang.
Setelah berbasa-basi, beberapa saat,
habib dipersilahkan mengambil wudlu
untuk melaksakan sholat maghrib.
"Tempat wudlu ada disebelah masjid itu.
Habib, Silahkan ambil wudlu disana", ucap
Kiai sambil menunjukan arah tempat
wudlu. Baru saja selesai berwudlu, tiba-
tiba habib dikejutkan dengan munculnya
macan tutul. Habib terkejut dan berteriak
dengan Bahasa Arabnya yang fasih untuk
mengusir macan tutul yang makin
mendekat itu. Meskipun habib
mengucapkan bahasa arab sangat fasih
untuk mengusir macan tutul , namun
macan itu tidak pergi juga. Mendengar
ribut-ribut disekitar tempat wudlu, Kiai
Kholil datang menghampiri. Melihat ada
macan...
Wednesday, March 20, 2013
*********** KYAI KHOLIL BANGKALAN ********
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment